…
saat itu barulah aku tersadar akan apa yang dulu dikatakannya.
“Manusia
memang tetaplah manusia, mereka tidak akan melihat kebahagiaan yang ada
didepannya. Hanya terus memikirkan apa yang dimiliki orang lain meski surga
yang ada didepannya”
Tanpa
menitikkan air mata, aku terus memandang wajah cantiknya di dalam peti. Kecantikannya
tertutupi tuksedo dan riasan wajah yang membuatnya terlihat tampan seperti
minggu lalu, saat dia melamar Hanna. Kuselipkan mawar merah dan sketsa wajah yang
belum pernah selesai ditangannya. Sebuah sketsa wajah dikertas lusuh, tetapi wajah
cantik di kertas itulah yang selalu membuatku tegar dua tahun ini.
Tak
seorangpun yang tak menangis, aku tahu mereka sangat terpukul, terutama Hanna.
Kisah kepergiannya membuatnya tampak seperti malaikat kecil bagiku. Saat ini
pun begitu, wajah cantik itu terus tersenyum sampai akhirnya peti ditutup dan
aku tanpa sadar menitikkan air mataku.
Akhirnya
aku menangis, dan tetap dia tidak melihatnya seperti janjiku.
My Last Love, Dhafa Eka Pungga
…
“Kalau
memang kamu mau mati silahkan, setidaknya kami Cuma perlu menyediakan peti dan
meriasmu setampan mungkin.” Dhafa
menimpaliku.
Sambil
menempelkan sebotol soda dingin dipipiku, ia tersenyum dan lanjut menceramahiku
berlagak seperti motivator kelas kakap lengkap dengan bahasa inggrisnya yang
terkadang malah membuatku ingin tertawa.
Aku
beranjak, mengambil kunci motor dan menoleh ke arah Dhafa.
“Jadi
kuliahnya pak Mario…?” aku mengejek.
Dhafa
mengambil tasnya dan roti isi di atas meja, kemudian menyusulku ke garasi.
Tempat favoritku saat ia tidak dirumah.
Sebenarnya
hari ini Dhafa tidak ada jadwal kuliah, tetapi demi pujaan hatinya Dhafa rela
menjadi penumpang gelap di kelas. Dengan sumringah Dhafa melangkah ke kelas
kontras denganku yang berjalan dengan wajah cemberut dengan seribu masalah di
otakku seakan akhir dari hidupku yang kudatangi.
Akhirnya
yang ditunggu datang juga dan kelas dimulai. Dosen yang cantik dimakan usia
dengan kebiasaannya memakan manusia mulai berceramah didepan kelas. Seperti
biasa, beliau menjelaskan seakan-akan rencananya kali ini akan berhasil
mengusir tentara Israel dari Palestina tapi bagiku beliau seperti bercengkrama
dengan papan tulis dan spidol hitam seakan sudah beberapa tahun mereka tidak
bertemu dan sekarang papan tulis dan spidol telah menikah dan mempunyai anak.
Jelas
saja, aku Dhafa dan cinta matinya duduk dibelakang, Hanna sibuk membaca buku
tebal tentang Fisika Kuantum karangan J. K. Rowling, Dhafa sibuk membaca
ekspresi wajah Hanna yang serius membaca, dan aku tentunya sibuk mencatat
senyum manis wajah cantik Dhafa di bukuku.
‘Dev,
abis ini kita makan yuk,” Dhafa membuyarkan konsenterasiku bersama Hanna yang
tersenyum lebar disampingnya.
Seketika
aku menoleh ke depan memperhatikan reuni akbar dosenku dengan papan tulis.
“terserah
lah, setidaknya gw nggak perlu masak buat makan siang kan…?’ jawabku singkat
meski perasaanku agak beda.
…
Akhirnya
reuni akbar antara dosenku, papan tulis dan spidol selesai. Seperti yang
direncanakan sebelumnya, kami makan di luar. Meski agak cemas dengan kondisi
kantongku saat ini dan apa yang mungkin direncanakan mereka.
Benar
saja, ternyata mereka mengajak Vina, berharap aku akan kembali bersama Vina,
setidaknya sebagai sahabat. Entah mengapa nafsu makanku hilang. Aku hanya
melihat kearah Dhafa dan menikmati makan siangku lewat mata.
Memang
ini bukan sepenuhnya kesalahan Vina, bukan dia yang memutuskan untuk
bertunangan dengan orang lain. Ayahnya hanya ingin Vina mendapat jaminan untuk
masa depan, tapi tetap saja salah bagiku. Kenapa Vina tidak mengatakannya sejak
awal hingga aku sempat berniat melamarnya. Kenapa juga ia terus mendekatiku
sedangkan ia sudah milik orang lain.
Entah
mengapa café juga mendukung kegalauan hatiku, sejak masuk café sampai Dhafa
hampir selesai makan selalu lagu patah hati yang dinyanyikan. Sepuluh menit aku
memotong-motong steak hingga terlihat seperti bubur barulah Hanna dan Dhafa
mengerti maksudku.
…
“masih
marah?” tanya Dhafa dari kamar diiringi dengan suara televisi yang dari tadi
terus menyiarkan iklan murahan.
“aku
cuma nggak mau liat kamu cemberut terus, ntar cepet tua, ilang gantengmu” Dhafa
mencoba membuatku tertawa.
Tapi
tidak berhasil, aku keluar dari kamar mandi dan merebahkan diriku di kasur.
Satu-satunya yang mengerti dan membuatku nyaman saat itu. Dhafa bangun dari
kursinya dan mendekatiku.
“pengen
istirahat” ucapku ketus sambil menutupi wajahku dengan bantal.
Aku
tidak mau Dhafa melihat mataku yang agak merah. Aku tidak mau ia salah mengira
aku menangis karena Vina. Aku hanya ingin terus menjaga Dhafa dengan sejuta
senyumnya, setidaknya sejak ia menderita penyakitnya.