Jumat, Desember 21, 2012

My Last Love (part I)



… saat itu barulah aku tersadar akan apa yang dulu dikatakannya.
“Manusia memang tetaplah manusia, mereka tidak akan melihat kebahagiaan yang ada didepannya. Hanya terus memikirkan apa yang dimiliki orang lain meski surga yang ada didepannya”
Tanpa menitikkan air mata, aku terus memandang wajah cantiknya di dalam peti. Kecantikannya tertutupi tuksedo dan riasan wajah yang membuatnya terlihat tampan seperti minggu lalu, saat dia melamar Hanna. Kuselipkan mawar merah dan sketsa wajah yang belum pernah selesai ditangannya. Sebuah sketsa wajah dikertas lusuh, tetapi wajah cantik di kertas itulah yang selalu membuatku tegar dua tahun ini.
Tak seorangpun yang tak menangis, aku tahu mereka sangat terpukul, terutama Hanna. Kisah kepergiannya membuatnya tampak seperti malaikat kecil bagiku. Saat ini pun begitu, wajah cantik itu terus tersenyum sampai akhirnya peti ditutup dan aku tanpa sadar menitikkan air mataku.
Akhirnya aku menangis, dan tetap dia tidak melihatnya seperti janjiku.

My Last Love, Dhafa Eka Pungga


“Kalau memang kamu mau mati silahkan, setidaknya kami Cuma perlu menyediakan peti dan meriasmu setampan mungkin.”  Dhafa menimpaliku.
Sambil menempelkan sebotol soda dingin dipipiku, ia tersenyum dan lanjut menceramahiku berlagak seperti motivator kelas kakap lengkap dengan bahasa inggrisnya yang terkadang malah membuatku ingin tertawa.
Aku beranjak, mengambil kunci motor dan menoleh ke arah Dhafa.
“Jadi kuliahnya pak Mario…?” aku mengejek.
Dhafa mengambil tasnya dan roti isi di atas meja, kemudian menyusulku ke garasi. Tempat favoritku saat ia tidak dirumah.
Sebenarnya hari ini Dhafa tidak ada jadwal kuliah, tetapi demi pujaan hatinya Dhafa rela menjadi penumpang gelap di kelas. Dengan sumringah Dhafa melangkah ke kelas kontras denganku yang berjalan dengan wajah cemberut dengan seribu masalah di otakku seakan akhir dari hidupku yang kudatangi.
Akhirnya yang ditunggu datang juga dan kelas dimulai. Dosen yang cantik dimakan usia dengan kebiasaannya memakan manusia mulai berceramah didepan kelas. Seperti biasa, beliau menjelaskan seakan-akan rencananya kali ini akan berhasil mengusir tentara Israel dari Palestina tapi bagiku beliau seperti bercengkrama dengan papan tulis dan spidol hitam seakan sudah beberapa tahun mereka tidak bertemu dan sekarang papan tulis dan spidol telah menikah dan mempunyai anak.
Jelas saja, aku Dhafa dan cinta matinya duduk dibelakang, Hanna sibuk membaca buku tebal tentang Fisika Kuantum karangan J. K. Rowling, Dhafa sibuk membaca ekspresi wajah Hanna yang serius membaca, dan aku tentunya sibuk mencatat senyum manis wajah cantik Dhafa di bukuku.
‘Dev, abis ini kita makan yuk,” Dhafa membuyarkan konsenterasiku bersama Hanna yang tersenyum lebar disampingnya.
Seketika aku menoleh ke depan memperhatikan reuni akbar dosenku dengan papan tulis.
“terserah lah, setidaknya gw nggak perlu masak buat makan siang kan…?’ jawabku singkat meski perasaanku agak beda.
Akhirnya reuni akbar antara dosenku, papan tulis dan spidol selesai. Seperti yang direncanakan sebelumnya, kami makan di luar. Meski agak cemas dengan kondisi kantongku saat ini dan apa yang mungkin direncanakan mereka.
Benar saja, ternyata mereka mengajak Vina, berharap aku akan kembali bersama Vina, setidaknya sebagai sahabat. Entah mengapa nafsu makanku hilang. Aku hanya melihat kearah Dhafa dan menikmati makan siangku lewat mata.
Memang ini bukan sepenuhnya kesalahan Vina, bukan dia yang memutuskan untuk bertunangan dengan orang lain. Ayahnya hanya ingin Vina mendapat jaminan untuk masa depan, tapi tetap saja salah bagiku. Kenapa Vina tidak mengatakannya sejak awal hingga aku sempat berniat melamarnya. Kenapa juga ia terus mendekatiku sedangkan ia sudah milik orang lain.
Entah mengapa café juga mendukung kegalauan hatiku, sejak masuk café sampai Dhafa hampir selesai makan selalu lagu patah hati yang dinyanyikan. Sepuluh menit aku memotong-motong steak hingga terlihat seperti bubur barulah Hanna dan Dhafa mengerti maksudku.
“masih marah?” tanya Dhafa dari kamar diiringi dengan suara televisi yang dari tadi terus menyiarkan iklan murahan.
“aku cuma nggak mau liat kamu cemberut terus, ntar cepet tua, ilang gantengmu” Dhafa mencoba membuatku tertawa.
Tapi tidak berhasil, aku keluar dari kamar mandi dan merebahkan diriku di kasur. Satu-satunya yang mengerti dan membuatku nyaman saat itu. Dhafa bangun dari kursinya dan mendekatiku.
“pengen istirahat” ucapku ketus sambil menutupi wajahku dengan bantal.
Aku tidak mau Dhafa melihat mataku yang agak merah. Aku tidak mau ia salah mengira aku menangis karena Vina. Aku hanya ingin terus menjaga Dhafa dengan sejuta senyumnya, setidaknya sejak ia menderita penyakitnya.

My Last Love (part II)


Sudah dua tahun sejak aku putus dengan Vina, tapi bukan itu yang kupikirkan. Saat ini Dhafa hanya bisa terbaring diatas kasur tempatku biasa beristirahat. Sudah lama Dhafa tidak bisa lagi beraktifitas seperti biasa.
“sorry ya Dev, bukan karena malas ato karena penyakitku, tapi karena emang lagi gak bisa” ucap Dhafa saat aku masuk membawakan sarapannya.
Kanker otak yang lama dideritanya mamang dianggapnya tidak ada. Tak seorangpun tahu kecuali aku, tak seorangpun termasuk Hanna. Mungkin sekarang Dhafa sudah tidak semenawan dulu dimata wanita. Wajah kurusnya dengan cekungan besar di pipi kontras dengan tulang pipinya yang menonjol keluar, matanya mulai sayu tetapi senyumnya tidak pernah hilang bahkan disaat tersulit sekalipun.
“Dev…” Dhafa memanggilku pelan setelah menghabiskan setengah sarapannya.
Aku berpaling dan hanya bisa tersenyum melihat kelakuannya. Setengah potongan keju yang berbentuk segitiga itu dipasangnya di dahi membuatnya tampak seperti hantu-hantu jepang. Hanya saja senyum itu terlalu manis untuk seorang hantu dan garpu yang digunakannya untuk membantu aksinya itu terlalu kontras, jauh berbeda dengan jari-jari kurusnya.
“jalan-jalan yuk” ucapku singkat dengan senyum yang dibuat-buat agar tampak tenang seperti biasa.
Dhafa mengangguk. Mungkin karena sudah terlalu lama ia di kamar ini dengan suasana yang itu-itu saja. Hari ini aku entah mengapa aku ingin menghabiskkan semua waktuku untuknya. Padahal biasanya kami memang hanya berdua, tetapi perasaanku hari ini berbeda. Yang kutahu hari ini Hanna pulang, setidaknya selama seminggu.
 Hari itu Dhafa kudandani dengan tuksedo hitamnya yang nampak agak kebesaran. Sejak awal aku memperlihatkan baju itu Dhafa terus bertanya kemana kami akan jalan-jalan, dan tentu saja tidak akan kujawab. Kuangkat Dhafa ke mobil, setelah memastikan kursi roda ada di bagasi belakang aku langsung tancap gas.
Semuanya sudah kurencanakan sejak awal. Untuk hari ini saja kubuang perasan marah dan kemburuku kepada Vina dan suaminya. Kulihat mas Evan, suami Vina sudah duduk di café.
“mungkin Vina yang menjemput Hanna” pikirku.
Hari ini aku ingin Dhafa melamar Hanna. Aku sudah menyiapkan cincinnya, Vina dan mas Evan kuundang untuk mempermudah kerjaku. Agak berat aku menjelaskan kondisi Dhafa ke mereka. Entah bagaimana nantinya dengan Hanna, selama ini ia berfikir Dhafa baik-baik saja. Novel karangan Dhafa membuatnya tampak tidak bermasalah dan Hanna selalu berkata kalau ia menunggu buku selanjutnya.
 Selama ini Dhafa hanya menghabiskan waktunya dengan menulis. Setidaknya itulah yang dapat dilakukannya. Kulihat mas Evan berdiri dan itu artinya Hanna dan Vina sudah ada di belakang ku. Aku berdiri dan melihat Hanna menahan air mata. Seperti biasa Dhafa hanya tersenyum dan berkata
“aku agak kurusan ya…?” cukup menyakitkan bagiku yang tahu perjuangannya dua tahun terakhir.
Kutaksir Vina sudah menjelaskan semuanya ke Hanna. Maskaranya agak luntur meski saat itu tidak ada air mata yang menetes. Saat semuanya duduk aku berdiri dan memberikan kotak kecil ke Dhafa untuk diberikan ke Hanna. Selanjutnya aku menemui pelayan café tersebut. Aku tidak ingin kejadiannya seperti dua tahun lalu saat aku patah hati dan café itu memutar lagu patah hati dari seluruh penjuru bumi.
Kuumumkan ke seluruh orang di café agar mereka tenang sejenak saat Dhafa melamar Hanna. Aku yang tidak ingin hari ini kacau karena lagu patah hati kacangan. Akupun langsung menyanyi untuk mereka berdua. Setidaknya lagu yang lebih bermakna, Endless Love. Tampak seperti curahan perasaanku untuk Dhafa karena aku merasa cemburu saat itu. Saat Dhafa memasang cincin ke jari manis Hanna.
Hari ini kutitipkan Dhafa pada Hanna. Setidaknya Dhafa akan tersenyum dengan tunangannya dan aku bisa menangis dirumah. Setelah sekian lama aku tidak menangis, sejak janjiku dengan Dhafa. Akhir-akhir ini aku hanya bisa memikirkan Dhafa, entah mengapa aku terus teringat masa lalu. Saat kami bermain bersama. Berlari bersama, lalu aku terjatuh, Dhafa menggendongku dan terus tertawa sambil menggendongku ke Ayah.
Entah berapa lama waktu yang tersisa untuk Dhafa, seakan aku perlu membelinya dari malaikat untuk Dhafa. Aku ingin melihat Dhafa akhinya bahagia seperti yang direncanakannya dulu bersama Hanna.
Sejak saat itu Dhafa seakan berubah, bukan seperti Dhafa yang dulu kukenal dengan senyum manisnya diwajah yang sama seperti almarhum Ibu. Dhafa selalu bertanya tentang kebahagiaanku dengan wajah yang seakan ingin menangis. Membuatku merasa semakin terluka melihatnya.
Hampir seminggu sudah ia terus mengoceh tentang kebahagiaan. Terkadang ia tertawa sendiri melihat foto-foto kenangan masa kecil kami. Malam itu aku memutuskan makan bersamanya di kamar. Terkadang ia tertawa saat aku menyuapi bubur yang tidak pernah disukainya itu. Ia kembali berceloteh tentang masa lalu.
“coba masih ada mama papa, pasti mama lagi ketawa di samping pintu” ujarnya sambil melirik ke arah pintu.
“Jangan ah, kalo ketawa kan mama suka ngakak. Ingat nggak waktu mama ngakak liat monyet jepang yang suka berendam aer panas di Maharani zoo dulu?” sahutku setelah terdiam sejenak.
Dhafa kembali tertawa, lalu terdiam sejenak sebelum suapan terakhir.
“Dev, sadar nggak?” Dhafa kembali memulai pembicaraan.
“sadar apanya?” jawabku
“kita beruntung bisa jadi manusia, kadang kita ingin kehidupan yang sepertinya sempurna seperti malaikat. Sebenarnya kehidupan manusia jauh lebih sempurna. Tersenyum, tertawa, menangis…” Dhafa bicara seolah menerawang menatap langit yang biru di padang rumput yang luas.
“bertengkar sama sodara kembar, trus baikan lagi di kamar, menangis trus cuma dia yang ada dan mengerti …” sahutku sambil menahan air mata.
Dhafa mulai menitikkan air mata dan menggerakkan bahunya mencoba bangkit. Meski tahu itu takkan berhasil, Dhafa lalu menyerah dan melanjutkan ocehannya.
“Selama ini aku terus memikirkan Hanna kuliah di Jepang, kadang kalo bukan mikirin Hanna aku mikir siapa nantinya yang bakal jadi pendamping hidup seorang Devara Dwi Pungga. Seorang pangeran yang mengabdikan hidupnya untuk saudaranya.” Dhafa mengoceh sambil tersenyum melirikku yang sibuk menggantikkan bajunya sebelum ia beristirahat malam itu.
“Manusia memang tetaplah manusia, mereka tidak akan melihat kebahagiaan yang ada didepannya. Hanya terus memikirkan apa yang dimiliki orang lain meski surga yang ada didepannya”
Itulah yang kudengar dari Dhafa sebelum ia tidur beristirahat malam itu. Aku sendiri tidak mengerti apa maksud Dhafa. Ia hanya tersenyum lalu memejamkan matanya.
“istirahat dulu, seri terakhir novel trilogimu udah selesai kan…” ucapku pelan sambil menutup netbook Dhafa.
Aku sendiri tidak pernah menyangka akhir dari novelnya akan menjadi akhir dari petualangan besarnya. Tadi malam adalah makan malam terindah dan terakhirku bersama Dhafa berakhir dengan senyuman manis Dhafa dalam tidur panjangnya.

My last love, Dhafa Eka Pungga